Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Seputar Shalat di Rumah



BEBERAPA HUKUM SEPUTAR SHALAT DI RUMAH
DAN SEPUTAR PERMASALAHAN YANG BERKAITAN DENGAN VIRUS CORONA

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah, para shahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya.

Amma Ba’du,

Maka ini adalah sebagian peringatan yang baik untuk disebutkan pada peristiwa yang terjadi pada saat ini, yang menyebabkan ditutupnya masjid-masjid umum dan masjid-masjid jami’ sementara waktu dalam keadaan darurat, karena kekhawatiran tersebarnya virus corona –semoga Allah menjaga kita semua dari virus ini-.

1. Disyariatkan untuk menjadikan tempat tertentu di dalam rumah sebagai mushalla (tempat shalat).

Disyariatkan untuk menjadikan tempat di dalam rumah sebagai tempat untuk menegakkan shalat padanya. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Adalah kebiasaan para salaf menjadikan di rumah-rumah mereka tempat-tempat yang diperuntukkan mengerjakan shalat padanya.” Dan tidaklah tempat yang dikhususkan sebagai tempat shalat tersebut berlaku padanya hukum-hukum yang berkaitan seputar masjid sedikit pun, seperti tidak diharuskan niat waqaf, tidak disyariatkan shalat tahiyyatul masjid padanya dan tidak diharamkan atas wanita yang sedang haidl dan nifas.

Dan hikmah adanya tempat shalat di rumah, yaitu agar kaum lelaki bisa mengerjakan shalat sunnah padanya. Dan penghuni rumah dari kalangan kaum wanita bisa mengerjakan shalat fardlu dan nafilah di tempat itu, serta seseorang yang memiliki udzur sakit dari kalangan laki-laki.

Dan sebagian ahlul ilmi menyebutkan disunnahkannya untuk memberi wewangian dan menjaga kebersihannya. Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah radliyallahu ‘anha berkata, “Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk membuat tempat-tempat shalat di rumah, membersihkannya dan memberinya wewangian.” HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah.

2. Adzan dan iqamah di rumah

Adzan dan iqamah hukumnya fardlu kifayah. Apabila telah dikumandangkan adzan di masjid, maka telah mencukupi untuk adzan di kampung tersebut. Sehingga barangsiapa yang shalat di rumahnya karena suatu udzur seperti sakit dan yang semisalnya, atau seorang yang terlewatkan dari shalat berjamaah di masjid, maka cukup baginya mengumandangkan iqamah dan mengerjakan shalat setelahnya. Dan barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa mengumandangkan iqamah maka shalatnya tetap sah, namun yang afdhal hendaknya mengumandangkan iqamah. Al Lajnah ad Daimah menyebutkan, “Disyariatkan iqamah sebelum shalat walaupun orang yang mengerjakan shalat tersebut sendirian. Akan tetapi apabila engkau mengerjakan shalat tanpa iqamah, shalatmu tetap sah dan engkau tidak perlu mengulangi shalatmu.”

Adapun para wanita, tidak disyariatkan bagi mereka adzan dan iqamah. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui ada khilaf padanya.”
Dan termasuk kesalahan, bahwa sebagian manusia meyakini bahwa wajib atas mereka sebelum berbuka puasa di bulan Ramadhan, untuk mengumandangkan adzan di rumahnya, padahal dia bertetangga dengan masjid. Sebagian mereka mengumandangkan adzan ketika turun hujan atau ketika datang suatu wabah penyakit, serta mngucapkan di adzannya “shallu fi buyutikum” (shalatlah kalian di rumah-rumah kalian). Hal ini, hanya disyariatkan bagi para mudzin di masjid-masjid ketika mereka mengumandangkan adzan untuk mengucapkan hal ini.

3. Kapan muadzin mengucapkan “shallu fi buyutikum”? Dan bagaimana cara menjawabnya ketika seseorang mendengarnya?

a. Kapan seorang muadzin mengucapkan “shallu fi buyutikum”?
Diperbolehkan bagi seorang muadzin untuk mengucapkan “ala shallu fir rihal”, “shallu fi rihalikum” atau “shallu fi buyutikum”. Dan boleh baginya untuk mengucapkannya sekali atau 2 kali.
Dan boleh baginya untuk mengucapkannya setelah selesai adzan sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar, dan boleh pula untuk mengucapkannya di pertengahan adzan sebagaimana yang dipahami dari hadits Ibnu Abbas. Asy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,”muadzin mengucapkan “shallu fi rihalikum”. Yaitu setelah mengucapkan “hayya ‘alash shalah, hayya ‘allal falah”, muadzin mengucapkan “shallu fi rihalikum” atau “shallu fi buyutikum”. Atau dia boleh mengucapkan setelah adzan “shallu fi buyutikum”.

b. Apakah wajib menjawabnya ketika muadzin mengucapkan “shallu fi buyutikum”?
Mayoritas ahlul ilmi berpendapat tidak disyariatkan menjawabnya, karena hal itu adalah lafzh tambahan yang bertujuan untuk mengingatkan adanya keringanan dan kemudahan. Dan sebagian  ahlul ilmi memasukkan pada keumuman hukum menjawab hayya’alatain, sehingga disyariatkan mengucapkan “la haula wala quwwata illa billah”.

4. Dimana para wanita membuat shaf ketika bermakmum kepada laki-laki dari keluarganya?

Seorang wanita selamanya berdiri di shaf di belakang laki-laki, dan tidak boleh membuat shaf bersama laki-laki, walaupun wanita tersebut adalah istrinya atau salah seorang mahramnya, seperti ibu, anak perempuan, saudari perempuan dan semisalnya. Sebagaimana yang datang di dalam Shahih Bukhari dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata, “Aku dan seorang anak yatim, di rumah kami shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ibuku Ummu Sulaim berdiri di belakang kami.”

Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Selamanya seorang wanita berdiri di belakang laki-laki (ketika shalat), sama saja apakah wanita itu termasuk mahram baginya yang laki-laki menjadi imam shalat baginya, ataupun wanita tersebut bukan termasuk mahram baginya.” Maka seorang laki-laki yang menjadi imam berdiri di depan, kemudian berdiri di belakangnya para lelaki dari anak-anak laki-lakinya, saudara-saudaranya atau selain mereka dari kalangan laki-laki, kemudian berdiri di belakang mereka para wanita dari istrinya, anak-anak perempuannya, ibunya, saudarisaudarinya dan selain mereka dari kalangan wanita.

5. Seorang muslim tidak boleh mengerjakan shalat Jum’at di rumahnya, namun hendaknya mengerjakan shalat di waktu Zhuhur dengan niat shalat Zhuhur

Bersamaan dengan dihentikannya pelaksanaan Shalat Jum’at di masa sekarang ini, maka seorang muslim mengerjakan shalat di rumahnya di hari Jum’at pada waktu zhuhur dengan mengerjakan shalat 4 rakaat dengan niat shalat Zhuhur, dan tidak boleh mengerjakannya 2 rakaat atau mengerjakan shalat Jum’at dengan keluarganya. Hai’ah Kibarul Ulama menyebutkan, “Barangsiapa yang khawatir akan mendapatkan madharat atau memadharatkan orang lain, maka ada rukhsah (keringanan) baginya untuk tidak menghadiri shalat Jum’at dan shalat berjamaah, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “tidak boleh memadharatkan diri sendiri dan orang lain”. HR. Ibnu Majah. Dan pada setiap hal yang telah disebutkan, apabila tidak menghadiri shalat Jum’at, maka ia mengerjakan shalat Zhuhur 4 raka’at.”

6. Peringatan keras dari memanipulasi fatwa Haiah Kibarul Ulama

Sebagian manusia mengajak tetangga-tetangganya dan warga kampungnya di tempat-tempat shalat sementara waktu ini untuk mengerjakan shalat berjamaah padanya, sebagai pengganti dari masjid-masjid. Mereka ini bermaksiat kepada waliyyul amr dan menyelisihi fatwa ahlul ilmi. Karena tujuan dari ditutupnya masjid-masjid pada hari-hari ini adalah karena larangan untuk berkumpul. Karena berkumpulnya manusia merupakan sebab terbesar menyebarnya wabah penyakit ini dan menularnya di tengah-tengah manusia.

7. Peringatan keras dari pemikiran Khawarij

Sebagian orang-orang yang memiliki pemikiran khawarij pada zaman ini, mereka menyangka bahwa dihentikannya sementara waktu dari pelaksanaan shalat Jum’ah dan shalat berjamaah di masjid-masjid karena alasan wabah Corona, mereka menuduh bahwa ini merupakan bentuk perbuatan murtad dari Islam. Dan bahwa negeri-negeri yang menutup masjid-masjid umum dan masjid-masjid Jami’ karena alasan tersebarnya penyakit Corona, maka menjadi negri-negri kafir. Dan pemikiran ini adalah hasil dari keyakinan kaum Khawarij sejak awal munculnya mereka hingga hari ini, disebabkan kejahilan akan agama Allah, serampangan dalam mengkafirkan seseorang, menghalalkan darah, mengajak kepada fitnah dan kekacauan, wal’iyyadzu billah.

Dan sungguh Haiah Kibarul Ulama (lembaga yang beranggotakan para ulama besar) telah berfatwa akan bolehnya menghentikan shalat Jum’at dan shalat jamaah di masjid-masjid pada peristiwa ini (yaitu wabah Corona), yang mana melanda seluruh dunia, dalam rangka mencegah tersebarnya virus ini. Karena virus ini dapat menyebar melalui interaksi dan berkumpulnya manusia. Dan para ulama tersebut berfatwa -sebagaimana biasanya- berdasarkan dalil-dalil dari al Kitab dan as Sunnah serta kaidah-kaidah dalam syariat Islam.

Hanya kepada Allah lah, saya memohon agar Allah mengangkat wabah ini dari negri kami dan negri-negri kaum muslimin semuanya. Dan semoga Allah merahmati negri-negri ini dan hamba-hamba-Nya. Dan semoga Allah melindungi kita semua dari penyakit yang buruk.
Walhamdu lillahi rabbil ‘alamin.

Ditulis oleh,
Ali bin Yahya al Haddady
23/7/1441 H
ahadddadi32@gmail.com

Penerjemah: https://t.me/Catatan_santri

Posting Komentar untuk "Hukum Seputar Shalat di Rumah"