Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengumumkan Berita Kematian



Ketika ada seseorang dari kaum muslimin, baik itu keluarga, tetangga, atau masyarakat secara umum yang meninggal dunia, bolehkah mengumumkan berita kematian seseorang tersebut? Dalam istilah Syar'i hal ini disebut An Na'yu (istilah ini yang akan kita gunakan dalam artikel ini), yaitu memberitakan/mengumumkan tentang kematian seseorang. Bagaimana hukumnya?


Terdapat dalil-dalil yang sebagiannya menunjukkan bolehnya, namun sebagiannya lagi menunjukkan tidak bolehnya.


Diantara dalil yang membolehkan :


  1. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا


Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melakukan An Na'yu (mengumumkan kematian) An-Najasyi pada hari kematiannya, kemudian Beliau keluar menuju tempat shalat lalu Beliau membariskan shaf kemudian takbir empat kali. (HR. Bukhari dan Muslim)


Ketika An-Najasyi (gelar Raja Negeri Habasyah) meninggal dunia dalam keadaan muslim, namun tidak ada yang men-sholatkannya, dikarenakan ia menyembunyikan keislamannya. Sehingga orang-orang mengira dia masih beragama nashrani. Maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengabarkan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Beliaupun mengumumkan kepada para shahabat agar mereka keluar ke tanah lapang untuk melaksanakan Shalat Ghaib. 


Maka dalam hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melakukan An-Na'yu. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa bolehnya mengumumkan berita kematian seseorang.


2. Hadits dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu :


النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى زَيْدًا وَجَعْفَرًا وَابْنَ رَوَاحَةَ لِلنَّاسِ قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَهُمْ خَبَرُهُمْ فَقَالَ أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ ابْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ حَتَّى أَخَذَ الرَّايَةَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ


Bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah mengumumkan kematian Zaid , Ja'far dan Ibnu Rawahah kepada para sahabat sebelum berita kematian mereka sampai. Nabi bersabda : "Bendera perang diambil oleh Zaid, lantas ia gugur, kemudian Ja'far mengambil alih benderanya, ia pun gugur, lantas diambil alih oleh Ibnu Rawahah dan ia pun gugur -seraya kedua mata beliau berlinang-, lantas bendera diambil oleh "si pedang Allah", (Khalid bin Walid) hingga Allah membuka kemenangan bagi mereka. (HR. Bukhari)


Di dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga melakukan An-Na'yu, yaitu memberitakan kematian Zaid bin Haritsah, Ja'far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah radhiallahu 'anhum.


3. Hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma :


عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَاتَ رَجُلٌ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ فَدَفَنُوهُ بِاللَّيْلِ فَلَمَّا أَصْبَحَ أَعْلَمُوهُ فَقَالَ مَا مَنَعَكُمْ أَنْ تُعْلِمُونِي قَالُوا كَانَ اللَّيْلُ وَكَانَتْ الظُّلْمَةُ فَكَرِهْنَا أَنْ نَشُقَّ عَلَيْكَ فَأَتَى قَبْرَهُ فَصَلَّى عَلَيْهِ


Dari Ibnu Abbas ia berkata, "Seorang laki-laki meninggal dunia, dan beliau biasa menjenguknya. Para sahabat kemudian menguburkannya di waktu malam hari, ketika pagi hari mereka baru memberitahukan kepada beliau. Beliau lalu bersabda: "Apa yang menghalangi kalian untuk memberitahukannya kepadaku?" mereka menjawab, "Kami menguburkannya di malam hari, dan waktu itu sangat gelap, maka kami tidak ingin menyusahkanmu. " Beliau lalu mendatangi kuburnya dan shalat di atasnya. (HR. Ibnu Majah)


Di dalam hadits ini Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengingkari perbuatan Shahabat yang tidak memberitakan kematian orang tersebut kepada beliau. Menunjukkan bahwa memberitakan kematian seseorang bukanlah hal yang terlarang.

Diterangkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab Fathul Bari bahwa :

Memberitakan kepada manusia tentang meninggalnya salah seorang kerabat mereka adalah perkara yang diperbolehkan, meskipun dari satu sisi hal ini akan menyebabkan kesedihan di tengah-tengah keluarga. Meskipun membuat sedih mereka, namun memberitakan tentang kematian seseorang dapat menimbulkan kemaslahatan yang banyak.


Diantara maslahatnya, agar mereka bersegera mendatangi jenazah tersebut dan ikut serta dalam mengurusnya. Dan menyiapkan perkara yang berkaitan dengan jenazah. Demikian pula menshalatinya, mendoakan kebaikan, beristighfar untuknya, dan menjalankan wasiatnya, serta mashlahat yang berkaitan dengan hukum-hukum syar'i lainnya.


Dalil-dalil yang melarang An-Na'yu :


  1. Dari Hudzaifah bin Yaman radhiallahu 'anhuma, beliau berkata :

"Apabila aku meninggal, jangan kalian mengumumkan kematianku, sesungguhnya aku khawatir jangan sampai mengumumkan tentang kematianku, maka kalian terjatuh pada perbuatan An-Na'yu. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarang An-Na'yu. "

(HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah)


2. Dari Al Qamah bin Qais rahimahullah, ketika dalam keadaan sekarat, beliau menyampaikan :

"Jangan kalian mengumumkan kematianku, seperti perbuatan kaum jahiliah."

Riwayat-riwayat ini menunjukkan larangan mengumumkan kematian seseorang, sedangkan hadits-hadits sebelumnya menunjukkan bolehnya.

Maka para ulama menjelaskan bahwa, riwayat-riwayat ini tidaklah saling bertentangan satu sama lainnya. Ada An-Na'yu yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Dan ada pula An-Na'yu yang terlarang, yaitu apabila An-Na'yu yang dilakukan menyerupai perbuatan kaum jahiliyah. Bagaimanakah perbuatan jahiliah tersebut?

Diterangkan oleh Al 'Aini rahimahullah 

"Dalam hadits An Najasyi, (ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menginfokan kematian An Najasyi) menunjukkan dianjurkannya memberitahukan kematian seseorang, namun tidak boleh dengan cara kaum jahiliyah dahulu. Namun yang dibolehkan adalah sekedar menginfokan, untuk menshalatkannya, mengantarkannya ke pemakaman, dan menunaikan hak-haknya dengan hal di atas. 


Adapun An-Na'yu yang dilarang, bukanlah sebagaimana di atas. Yang terlarang adalah mengumumkan kematian ala jahiliyah, yaitu mengumumkan kematian diiringi dengan memuji-muji mayyit."


Juga diterangkan oleh As Sindi rahimahullah

"Kaum jahiliyah dahulu mengumumkan kematian seseorang dengan cara yang dibenci syariat, sehingga Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarang karena sebab tersebut."


Begitu pula dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah


Pertanyaan :

"Apakah boleh mengumumkan kematian seseorang di desa di papan pengumuman di masjid yang digunakan khusus untuk hal ini? Perlu diketahui sudah ada orang yang hendak memandikan dan mengkafaninya. Adapun menyalatinya, biasanya di desa kami salat jenazah dilakukan setelah salat Zuhur atau Asar di masjid."


Jawaban :

Pertama, mengumumkan kematian seseorang dengan cara yang berlebihan hukumnya tidak boleh. Adapun jika dilakukan dengan cara sekedar memberitahu kepada para kerabat dan orang-orang yang dikenal orang yang sudah meninggal dengan tujuan agar hadir untuk menyalatkan dan menguburkannya, maka itu hukumnya boleh. Hal itu tidak termasuk ke dalam berlebihan dalam mengumumkan yang dilarang oleh syariat, karena tatkala Raja an-Najasyi meninggal dunia di Habasyah (Ethiopia sekarang) Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memberitahukan hal itu kepada kaum Muslimin dan beliau menyalatkannya.

Kedua, tidak sepantasnya menggunakan papan khusus di masjid untuk mengumumkan kematian seseorang dan semisalnya, karena masjid tidak dibangun untuk tujuan itu.


Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :

Apa hukumnya menyampaikan takziah (bela sungkawa) melalui koran-koran?


Beliau rahimahullah menjawab :

Tentang ucapan belasungkawa di koran-koran, aku khawatir itu termasuk dalam bentuk An-Na'yu yang tercela. Sebab Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarang An-Na'yu. Sebab biasanya ucapan belasungkawa semacam ini adalah untuk mengumumkan kematian, padahal memungkinkan bagi orang yang mengucapkan belasungkawa bagi menulis surat kepada keluarga mayyit, menghubungi lewat telpon. Ini cukup tanpa mesti membuat pengumuman.


Syaikh Abdul Muhsin al Abbad menjelaskan :

Yang dimaksud An-Na'yu yang tercela, adalah seperti yang dilakukan kaum jahiliyah terdahulu. Dimana seseorang datang dengan ontanya, lalu dia dia berkeliling untuk memberitakan tentang kematian seseorang. Lalu menyebut kebaikan-kebaikan orang tersebut dan menangisi kematiannya. Adapun kalau mereka menginfokan agar orang-orang datang menshalatkannya, maka ini terdapat kemaslahatan yang besar. 


Kesimpulan :

An-Na'yu, jika dilakukan sekedar agar orang-orang mengetahui, di luar kebutuhan. Terlebih jika disertai dengan membangga-banggakan kebaikan, menangisi kematian, maka hal semacam ini terlarang.

Seperti : mengumumkan di koran-koran, berkeliling di tempat-tempat umum mengumumkan kematian dan membangga-banggakan si mayyit. Dan yang semisalnya.


Adapun jika bertujuan meraih kemaslahatan, seperti agar orang-orang datang menshalatkan jenazahnya, beristighfar untuknya, menjalankan wasiat (jika si mayyit memiliki wasiat), melakukan penyelenggaran, dan juga terkait hukum-hukum syar'i lainnya, maka An-Na'yu semacam ini diperbolehkan, bahkan dianjurkan.

Seperti : mengumumkan di grup Whatsapp/Telegram warga atau komunitas, yang di dalamnya kemungkinan mengenal siapa yang meninggal, dengan tujuan tercapainya maslahat syar'i seperti yang kita sebutkan di atas.


Wallahu a'lam bis shawab

Dicatat dari Kajian tentang Hukum-Hukum Jenazah dari kitab Matan Abi Syuja (Fiqih Imam Syafi'i) Ustadz Askary hafizhahullah

Sumber Fatwa Lajnah Daimah dari Alifta

Link Audio Kajian, klik : Hukum Mengumumkan Kematian Seseorang

Posting Komentar untuk "Mengumumkan Berita Kematian"